Nama : Muhammad Solihin
Kelas : 1KB07
NPM : 26113150
Kelompok : 3
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb. puji syukur kepada Allah SWT yang
telah memberi nikmat sehat kepada saya sehingga makalah mata kuliah Ilmu Sosial
Dasar ini dapat saya selesaikan sebagai salah satu tugas yang diberikan dosen
mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Tugas makalah yang berjudul “masalah sosial pengemis di indonesia”. Sebuah makalah yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial pengemis di indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan bimbingan dari Bapak atau Ibu dosen serta rekan-rekan sesama mahasiswa untuk menyempurnakan makalah-makalah saya yang selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Akhir kata saya ucapkan Terima kasih.
Tugas makalah yang berjudul “masalah sosial pengemis di indonesia”. Sebuah makalah yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan masalah sosial pengemis di indonesia.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan bimbingan dari Bapak atau Ibu dosen serta rekan-rekan sesama mahasiswa untuk menyempurnakan makalah-makalah saya yang selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua. Akhir kata saya ucapkan Terima kasih.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pengemis adalah mereka yang pekerjaannnya atau hobby-nya meminta minta. Diindonesia atau lebih spesifiknya dijakarta, pengemis sangatlah banyak. Bukan hanya orangtua atau orang dewasa, remaja dan bahkan anak-anak kecil pun banyak yang menjadi pengemis. Hal ini dipacu oleh tingkat kemiskinan di indonesia yang tinggi serta kurangnya atau sempitnya lapangan pekerjaan, sehingga banyak dari mereka yang pengangguran memilih untuk menjadi pengemis.
Namun sesuai dengan judul makalah saya kali ini, pengemis pun ada yang disebut dengan pengemis musiman. Pengemis musiman adalah pengemis yang mengemis pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya saat bulan ramadhan atau menjelang lebaran. Dapat kita temukan banyak sekali pengemis-pengemis musiman dijalanan bahkan ada pula yang mengemis kerumah-rumah warga.
Ini merupakan masalah sosial yang harus segera diatasi hingga tuntas. Jika saja pemerintah dapat dengan sigap mengurangi tingkat kemiskinan diindonesia atau membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan untuk warga indonesia yang tidak menyelasaikan pendidikan tingginya, mungkin itu dapat mengurangi dan membantu pengemis-pengemis itu untuk tidak lagi mendapatkan uang hanya dengan mengemis atau meminta-minta uang dan belas kasihan oranglain.
Pengemis adalah mereka yang pekerjaannnya atau hobby-nya meminta minta. Diindonesia atau lebih spesifiknya dijakarta, pengemis sangatlah banyak. Bukan hanya orangtua atau orang dewasa, remaja dan bahkan anak-anak kecil pun banyak yang menjadi pengemis. Hal ini dipacu oleh tingkat kemiskinan di indonesia yang tinggi serta kurangnya atau sempitnya lapangan pekerjaan, sehingga banyak dari mereka yang pengangguran memilih untuk menjadi pengemis.
Namun sesuai dengan judul makalah saya kali ini, pengemis pun ada yang disebut dengan pengemis musiman. Pengemis musiman adalah pengemis yang mengemis pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya saat bulan ramadhan atau menjelang lebaran. Dapat kita temukan banyak sekali pengemis-pengemis musiman dijalanan bahkan ada pula yang mengemis kerumah-rumah warga.
Ini merupakan masalah sosial yang harus segera diatasi hingga tuntas. Jika saja pemerintah dapat dengan sigap mengurangi tingkat kemiskinan diindonesia atau membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan untuk warga indonesia yang tidak menyelasaikan pendidikan tingginya, mungkin itu dapat mengurangi dan membantu pengemis-pengemis itu untuk tidak lagi mendapatkan uang hanya dengan mengemis atau meminta-minta uang dan belas kasihan oranglain.
TUJUAN
1. Memenuhi tugas mata kuliah softskill ilmu sosial dasar.
2. Menambah dan memperbanyak pengetahuan tentang masalah
sosial.
3. Mengetahui dan memahami tindakan yang harus dilakukan terhadap
pengemis musiman.
4. Menghimbau penduduk indonesia yang pengangguran agar
lebih giat mencari pekerjaan yang lebih baik.
5. Agar pemerintah dapat membaca dan tersadar akan masalah
sosial pengemis musiman ini.
6. Agar pemerintah melakukan tindakan yang berguna untuk
para pengemis musiman.
7. Agar mahasiswa atau pembaca dapat memahami pentingnya
belajar untuk masa depan supaya tidak menjadi seperti para pengemis musiman.
SASARAN
Sasaran yang ingin dicapai pada pembuatan makalah ini adalah menjadikan seluruh penduduk atau masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda penerus bangsa untuk membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan menghapus atau menghilangkan pengemis musiman dengan lebih giat lagi belajar dalam menggapai kesuksesan kelak.
Sasaran yang ingin dicapai pada pembuatan makalah ini adalah menjadikan seluruh penduduk atau masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda penerus bangsa untuk membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan menghapus atau menghilangkan pengemis musiman dengan lebih giat lagi belajar dalam menggapai kesuksesan kelak.
Gelandangan di Perkotaan
Gelandangan
dan pengemis memang telah menjadi masalah nasional yang dihadapi di banyak
kota, tak terkecuali di negara maju Permasalahan gelandangan dan pengemis
sebenarnya telah lama mendapatkan perhatian serius baik dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah maupun bahkan secara ekstrim mengibaratkan gelandangan
sebagai penyakit kanker yang diderita kota karena keberadaannya yang mengganggu
keindahan dan kenyamanan kota, namun begitu susah dan kompleks dalam
penanggulangannya.
Istilah Gelandangan,
Pengemis dan Pemulung
Istilah gelandangan berasal dari kata gelandangan, yang
artinya selalu berkeliaran atau tidak pernah mempunyai tempat kediaman tetap
(Suparlan, 1993). Pada umumnya para gelandangan adalah kaum urban yang berasal
dari desa dan mencoba nasib dan peruntungannya di kota, namun tidak didukung
oleh tingkat pendidikan yang cukup, keahlian pengetahuan spesialisasi dan tidak
mempunyai modal uang. Sebagai akibatnya, mereka bekerja serabutan dan tidak
tetap, terutamanya di sektor informal, semisal pemulung, pengamen dan pengemis.
Weinberg (1970) menggambarkan bagaimana gelandangan dan pengemis yang masuk
dalam kategori orang miskin di perkotaan sering mengalami praktek diskriminasi
dan pemberian stigma yang negatif. Dalam kaitannya dengan ini, Rubington &
Weinberg (1995) menyebutkan bahwa pemberian stigma negatif justru menjauhkan
orang pada kumpulan masyarakat normal. Mereka
yang tidak sukses mengadu nasib di kota, malu untuk kembali ke kampung
halamannya, sementara mereka terlunta-lunta hidup di perantauan. Mereka hidup
di pemukiman liar dan kumuh (slum/squatter area) yang dianggap murah atau tidak
perlu bayar. Orang gelandangan pada umumnya tidak memiliki kartu identitas
karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya, sementara pemerintah
kota tidak mengakui dan tidak mentolerir warga kota yang tidak mempunyai kartu
identitas. Sebagai akibatnya perkawinan dilakukan tanpa menggunakan aturan dari
pemerintah, yang sering disebut dengan istilah kumpul kebo (living together out
of wedlock). Praktek ini mengakibatkan anak-anak keturunan mereka menjadi
generasi yang tidak jelas, karena tidak mempunyai akte kelahiran. Sebagai
generasi yang frustasi karena putus hubungan dengan kerabatnya di desa
(dehabilitation) dan tidak diakui oleh pemerintah kota, dan tanpa tersentuh
dunia pendidikan formal, pada akhirnya mereka terdorong oleh sistem menjadi
anak jalanan dan rentan terpengaruh untuk melakukan tindak kriminal dan asosial
.
Selama ini sebagian besar masyarakat masih dibingungkan oleh
pengertian gelandangan, pengemis dan pemulung. PP No. 31 Tahun 1980
mendefinisikan gelandangan yaitu orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak
sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak
mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta hidup mengembara
ditempat umum. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seringkali mengemis
(hidup dari belas kasihan orang lain) atau bekerja sebagai pemulung. Ali, dkk.
(1990) menyatakan bahwa gelandangan berasal dari gelandang yang berarti selalu
mengembara, atau berkelana (lelana). Adapun indikator gelandangan yaitu sebagai
berikut : (1) Anak sampai usia dewasa; (2) Tinggal disembarang tempat dan hidup
mengembara atau mengelandang ditempat-tempat umum, biasanya dikota-kota besar;
(3) Tidak mempunyai tanda pengenal atau identitas diri, berperilaku bebas/
liar, terlepas dari norma kehidupan masyarakat umumnya; (4) Tidak mempunyai
pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau barang bekas.
Secara umum gelandangan ada 2 yaitu gelandangan psikotik dan gelandangan
non-psikotik. Gelandangan non-psikotik pun dibagi menjadi dua yaitu mereka yang
menggelandang karena malas bekerja dan mereka yang menggelandang karena desakan
ekonomi. Mereka yang menggelandang karena malas, biasanya tinggal pergi ke belakang
McDonald atau KFC untuk sekedar makan enak dengan menunggui sisa-sisa makanan
yang dibuang di tempat sampah. Mereka juga sering menjadikan panti-panti
pemerintah sebagai tempat makan gratis. Bosan di satu panti, mereka akan pindah
ke panti lain. Begitu seterusnya. Jadi saya tidak setuju kalau ada
penggeneralisasian bahwa seluruh gelandangan pada dasarnya pemals. Studi yang
saya lakukan beberapa tahun yang lalu menunjukkan bagaimana sebagian dari
mereka bekerja siang malam tanpa mengenal lelah. pagi buta sudah berangkat
memulung, pulang malam dan terkadang mereka membersihkan hasil pulungannya
sampai jam 12 malam di gubuk-gubuk sederhana dimana mereka tinggal. Ada
beberapa mereka yang minum arak/alkohol sambil bernyanyi-nyanyi. Saya melihat
ada nada kesedihan dalam suara-suara mereka. Mungkin mereka frustasi dengan
hidup. Tapi dari perspektif saya mereka adalah orang-orang kuat yang mengarungi
kejamnya kehidupan di kota besar. Saya percaya bahwa fenomena gelandangan
adalah fenomena gagalnya suatu masyarakat dalam mencegah dan memproteksi
warganya. Ketidakpedulian dan kurangnya dukungan dari masyarakat secara umum
berkontribusi terhadap terciptanya gelandangan-gelandangan di kota besar. Jelas
program penanganan antara mereka yang psikotik, non psikotik karena mentalitas
dan non psikotik karena kesulitan ekonomi akan berbeda. Dan tentu saja
penanganannya harus humanis dan mengedepankan hak-hak mereka.
Istilah terakhir yang sering diasosiasikan dengan
gelandangan adalah pemulung. Pemulung dapat diartikan sebagai orang yang
kegiatannya mengambil dan mengumpulkan barang-barang bekas yang masih memiliki
nilai jual yang kemudian akan dijual kepada juragan barang bekas. Pemulung juga
dapat didefinisikan sebagai orang yang mempunyai pekerjaan utama sebagai
pengumpul barang-barang bekas untuk mendukung kehidupannya seharihari, yang
tidak mempunyai kewajiban formal dan tidak terdaftar di unit administrasi
pemerintahan.
Data dan Fakta Seputar Gelandangan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Data dan
Informasi (Pusdatin) Kementerian Sosial, tercatat pada tahun 2008, jumlah
gelandangan mencapai 25.169 orang, jumlah pengemis mencapai 35.057 orang, dan
anak jalanan mencapai 109.454 orang. Data jumlah orang gelandangan sendiri
meningkat hamper 2 kali lipat pada tahun 2009 dan mencapai 54.028 orang. Data
yang dikutip memang masih perlu ditanyakan kevaliditasannya, mengingat
pendataan pada kelompok ini relatif sulit karena mobilitas mereka yang tinggi.
Dapat dipastikan angka ini seperti fenomena puncak gunung es (tips of iceberg)
dimana angka riilnya dimungkinkan dapat lebih tinggi. Tapi untuk pegangan
sementara dalam penyusunan program, data tersebut masih dapat dipergunakan.
Angka gelandangan diperkirakan terus naik, mengingat daya
tarik kota yang semakin kuat bagi orang-orang desa. Yang perlu diperhatikan
dalam konteks ini adalah bahwa Jakarta akan tetap menjadi tanah impian bagi
orang desa di Indonesia untuk mengadu nasib di kota, mengingat kecenderungan
kota-kota di Asia Tenggara yang mengacu pada ‘gejala satu kota’ yaitu ibu kota
Negara. Sebagai contohnya, kota di Indonesia adalah Jakarta, di Thailand adalah
Bangkok, di Malaysia adalah Kuala Lumpur, dan di Philippine adalah Manila.
Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak
jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of
poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani
masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak
jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola
penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup
mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan. Inilah
sebabnya, sebagai misal, kenapa pengistilahan Jakarta di kalangan ilmuwan
sosial bukan disebut dengan kota, tapi lebih sering disebut ‘Kampung Besar’
(the big village), mengingat perilaku orang di dalamnya yang lebih mencerminkan
orang kampung.
Berbagai laporan menunjukkan bagaimana pemerintah kota,
seperti di Jakarta telah mengeluarkan berbagai peraturan daerah yaitu Perda DKI
No. 11 Tahun 1988 tentang ketertiban umum, dan Perda DKI No. 8 Tahun 2007 yang
melarang orang untuk menggelandang, mengemis dan melakukan aktivitas yang
mengganggu ketertiban di jalan, termasuk larangan membeli pedagang asongan dan
memberi sedekah pada pengemis di jalanan di Jakarta. Pemerintah DKI juga telah
mengadakan kerjasama lintas sektoral yang melibatkan berbagai instansi seperti
Tramtib, Kepolisian, maupun Dinas Sosial melalui operasi yustisi dalam
penanganan gelandangan, untuk selanjutnya mendapatkan pelayanan dan
rehabilitasi sosial di panti-panti pemerintah. Namun demikian, masih saja
masalah gelandangan, pengemis dan anak jalanan masih merebak di kota Jakarta
dan kota-kota lainnya.
Masalah gelandangan dan pengemis bukan semata-mata masalah
modal, keterampilan kerja dan kesempatan berusaha, namun juga masalah
mentalitas diri. Terbukti dari tingkat kegagalan layanan yang disediakan
pemerintah, dimana mereka yang telah mendapatkan layanan panti ataupun layanan
transmigrasi, namun kembali menggelandang di kota. Mereka berpandangan bahwa
dengan menggelandang mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras.
Menariknya lagi, mereka justru memanfaatkan layanan panti-panti maupun layanan
transmigrasi sebagai suatu ‘selingan hidup’ dimana mereka bisa numpang makan
minum gratis di panti dan pindah dari satu panti ke panti lainnya manakala
bosan, dan hal inipun diorganisir oleh kelompok gelandangan sendiri dengan
baik. Bagi yang bertransmigrasi mereka juga kembali setelah menjual tanah dan
rumahnya ke tetangganya maupun ke penduduk setempat.
Gelandangan, Migrasi Desa-Kota dan Gagalnya Pemerintah Kota
Dalam Melakukan Antisipasi
Kaum urban yang datang ke kota-kota, karena minim
pengalaman, pendidikan, keterampilan kerja dan modal uang, akhirnya mereka
mencari ’Bapak Pelindung’ (patron) dan berperan sebagai
’Anak’ (client).Mereka bekerja pada patron dengan upah minim yang penting
bisa survive (mendapat makan dan tempat tinggal). Pada umumnya tempat yang
dituju adalah pemukiman liar seperti di bawah jembatan, lahan-lahan kosong,
pinggir stasiun/rel kereta api, maupun di bantaran-bantaran kali. Mereka
kemudian terorganisir secara rapi dan sangat sulit digusur. Studi yang
dilakukan Rohman (2004) menunjukkan bahwa pendudukan dan penyerobotan lahan
dikarenakan pemerintah kota yang tidak konsisten, karena banyak oknum
pemerintahan yang justru ‘melegalkan’ dengan menarik retribusi di tempat-tempat
tersebut. Khusus untuk gelandangan di Stasiun Senen, petugas PJKA yang justru
mengajari mereka dengan membikin rumah-rumah kardus yang kemudian menjadi semi
permanen karena sering pulang kemalaman ke daerah Bekasi atau Bogor. Sebagai
konsekuensinya, para pedagang yang dulu tidur di pasar Senen dengan memeluk
dagangannya akhirnya mengikuti pola yang sama yaitu mendirikan gubuk-gubuk di
sepanjang rel kereta api. Kalau petugas PJKA bisa kenapa mereka tidak? Pada
konteks ini pemerintah kota diharapkan dapat secara konsisten mengawasi
ruang-ruang yang rawan penyerobotan secara liar. Persoalan kemudian muncul manakala
kehidupan yang sulit memaksa mereka bekerja secara serabutan, baik sebagai
pemulung, pelapak, tukang service elektronik, tukang ‘petik’ (jambret), tukang
todong, pencuri, pemungut sayuran, pengamen, maupun pengemis. Permasalahan
menjadi mengemuka manakala tempat tinggal mereka kumuh dan kotor, hidup secara
tidak sehat, rawan terkena penyakit, menjadi pusat prostitusi, dan pusat
kegiatan kriminal. anak-anak mereka juga rawan penelantaran, eksploitasi
ekonomi dan eksploitasi seksual. Kejadian tindak kekerasan juga bukan barang
yang aneh di lingkungan tersebut.
Bahwa masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik
dalam urbanisasi. Intinya jika migrasi desa-kota dapat diminimalisir, maka
jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat
diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi
permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang
dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang
minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar. Ini bisa dilakukan
dengan melakukan kegiatan survey ataupun pendataan secara langsung ke
kantong-kantong pemukiman liar, maupun dengan meminta data sekunder dari
Dinas/Instansi Sosial terkait.
Bahwa jumlah kaum urban meningkat dikarenakan daya tarik
kota yang sangat luar biasa, yang didukung banyaknya cerita-cerita sukses dari
para perantau. Pada titik ini, diperlukan upaya penyuluhan dan diseminasi
tentang resiko merantau ke kota besar, sebagai upaya preventif dalam menyajikan
data dan fakta obyektif susahnya merantau di kota. Paling tidak, masyarakat di
pedesaan harus disadarkan mengenai kejamnya kota. Hal ini dikarenakan modus
munculnya gelandangan pada umumnya dimulai dari para perantau yang gagal
mengadu nasib, yang dibawa ke kota besar baik oleh keluarganya maupun teman
terdekatnya (chain-recruitment) meskipun ada pula yang dikarenakan keinginan
sendiri (minggat) maupun diperdagangkan (trafficking).
Pengemis sebenarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka
yang masuk dalam kategori cacat dan mengemis untuk hidup, dan mereka yang dalam
keadaan sehat tapi malas bekerja. Di sini jelas, bentuk intervensi ataupun
layanan sosial yang diberikan akan berbeda sesuai dengan karakteristik
pengemis. Layanan yang diberikan kepada gelandangan dan pengemis juga terkesan
setengah hati karena asumsi bahwa jika tersiar kabar akan adanya layanan khusus
gelandangan dan pengemis dipastikan angka urbanisasi ke kota akan meningkat.
Itulah sebabnya pemerintah kota cenderung lebih memilih tindak represif
daripada rehabilitatif. Ini dibuktikan beberapa program andalan pemerintah
justru tidak menyentuh keluarga tanpa KTP. Layanan yang dilakukan untuk
gelandangan dan pengemis perlu melibatkan para patron, pihak kepolisian,
pemerintah kota, dan pemerintah daerah asal gelandangan dan pengemis.
Kapan Persoalan Gelandangan Akan Selesai?
Terkadang dalam menyikapi permasalahan sosial, kita dituntut
untuk tetap optimis. Bagaimana layanan sosial akan dilakukan dengan baik
apabila orang-orang yang didalamnya justru pesimis? Namun demikian diperlukan
perencanaan sosial yang baik dengan memahami budaya dan cara pandang mereka.
Terus kapan persoalan ini akan selesai? Tidak ada magic answer untuk pertanyaan
ini.